Di kota kecil inilah bersemayam banyak sejarah negeri Langkat. Tercatat bersama cerita tentang kejayaan Kesultanan Langkat, kehidupan penyair Tengku Amir Hamzah, hingga perkampungan tarekat Naqsyabandiyah di Besilam yang sudah ada sejak 131 tahun lalu. Tanjungpura sebagai kota pendidikan agama Islam dan kota budaya masih menyimpannya hingga saat ini.
Aura yang berbeda langsung terasa ketika MedanBisnis memasuki kota kecil Tanjungpura, pertengahan Ramadhan lalu. Sebuah plang kecil bertuliskan “Museum Daerah” menyambut kedatangan setiap tamu di pertigaan Jalan Tengku Amir Hamzah, tepat di seberang jalan bangunan Lembaga Pemasyarakatan Langkat. Di Museum Daerah Kabupaten Langkat itu jugalah sejarah berdirinya Tanjungpura bersemayam.Dari dulu, Tanjungpura memang terkenal sebagai kota pendidikan. Banyak yang datang ke kota kecil yang berada di pesisir pantai Selat Malaka itu untuk belajar, terutama pendidikan agama. Bahkan, dalam sejarahnya tercatat nama besar seperti Adam Malik pernah menimba ilmu di negeri tersebut.
“Dulu banyak yang datang belajar agama Islam ke sini, dari Riau, Bengkalis, Pekanbaru, Tanjung Balai, Batubara, Aceh. Sekarang sudah berbeda. Kalau dulu, banyak yang dipakai di pemerintahan, terutama dalam bidang agama sejak zaman sultan dan penjajahan Belanda. Tapi setelah merdeka, jatuh semuanya karena banyaknya pemberontakan,” cerita Imam Tetap Masjid Azizi, Muhammad Nur (72) saat ditemui MedanBisnis usai menjalankan Shalat Zuhur di masjid tersebut.
Makanya tak heran jika Tanjungpura juga dijuluki sebagai kota Islam sejak lama. Selain karena mayoritas penduduknya menganut agama Islam, Tanjungpura juga sangat kental akan budaya Islam karena banyaknya tarekat-tarekat (pengajian) Islam yang berkembang di daerah tersebut. Salah satunya yang sangat terkenal Tarekat Naqsyabandiyah Babussalam di daerah Besilam.
Selain itu, Tanjungpura juga disebut-sebut sebagai kota budaya. Di daerah ini jugalah pahlawan nasional Tengku Hamir Hamzah lahir hingga kemudian dimakamkan di Kompleks Masjid Azizi, tik jauh dari komplek makam Sultan Langkat. Siapa yang tak kenal dengan penyair handal nan sederhana yang sudah terkenal hingga ke Semenanjung Malaya itu?!
Dari Tanjung dan Pura
Tanjungpura adalah salah satu kota kecil di wilayah Provinsi Sumatra Utara, tepatnya di Kabupaten Langkat. Berjarak sekitar 60 kilometer di sebelah barat ibukota provinsi, Medan, tak sulit untuk berkunjung ke daerah ini. Banyak kendaraan umum menuju Pangkalan Berandan, Pangkalan Susu atau Aceh yang bisa ditumpangi dari Terminal Pinang Baris, Medan.
Dengan ongkos sekitar Rp 15 ribu, Anda pun bisa mengunjungi Tanjungpura untuk berwisata budaya dan wisata kuliner di kota kecil tersebut. Dengan menaiki sepeda motor pun tidak akan memakan waktu yang lama, hanya sekitar 1,5 jam dari Kota Medan. Apalagi jalan raya menuju Tanjungpura cukup mulus karena merupakan Jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan Medan dan Aceh.
Sebelum berstatus kecamatan, dulunya Tanjungpura merupakan ibukota Kabupaten Langkat. Namun, kemudian dipindahkan ke Binjai Baru, dan selanjutnya pindah lagi ke Stabat hingga saat ini. Tanjungpura sendiri berbatasan langsung dengan Kota Stabat di sebelah timur dan Pangkalan Berandan di utaranya.
Selain berada di jalur strategis Medan-Banda Aceh, Tanjungpura juga berlokasi di pesisir pantai Selat Malaka. Kota kecil ini juga merupakan pertemuan dua sungai besar di Kabupaten Langkat, yakni Sungai Wampu dan Sungai Batang Serangan yang mengalir hingga ke tengah kota Tanjungpura.
Nama Tanjungpura sendiri berasal dari kata “Tanjung” dan “Pura.” Tanjung diambil dari nama Pangeran Tanjung atau Tengku Sulung yang merupakan anak tertua dari raja pertama Kesultanan Langkat, Sultan Musa dengan istri pertamanya Siti Maryam.
Kakek dari Tengku Amir Hamzah ini mendapatkan julukan Pangeran Tanjung karena ia tinggal di tanjung atau semenanjung tempat bertemunya Sungai Wampu dan Sungai Batang Serangan. Ia mengasingkan diri ke sana karena tidak menerima keputusan ayahnya Sultan Musa yang mengangkat adik tirinya sebagai putra mahkota Kesultanan Langkat.
Sultan Musa sendiri mengangkat anaknya yang kemudian bergelar Sultan Abdul Aziz itu sebagai penghargaan bagi istri mudanya, Tengku Maslurah. Istri ketiganya yang sebelumnya merupakan permaisuri Raja Bingei itu dinikahinya setelah menaklukkan kesultanan tersebut.
“Pangeran Tanjung marah dan kemudian pindah ke semenanjung. Ia membangun sebuah mahligai, seperti istana tapi ukurannya lebih kecil,” ujar Drs Zainal Arifin AKA (53), sejarawan Melayu yang merupakan putra daerah Tanjungpura saat bercerita sejarah Tanjungpura kepada MedanBisnis.
Istana kecil yang dibangun Pangeran Tanjung tersebut berada tidak jauh gapura yang merupakan gerbang lokasi pemandian anak-anak raja Kesultanan Langkat. Lokasi pemandian tersebut di pinggir Sungai Batang Serangan, tepatnya di belakang Istana Kesultanan Langkat yang berada satu kompleks dengan Masjid Azizi.
Nama “pura” pada Tanjungpura diambil dari kata gapura tersebut. Makanya kota kecil yang dulunya dikenal dengan nama Kota Pati di zaman Kesultanan Melayu tersebut bernama Tanjungpura. Hingga saat ini, sejarah tersebut terus menjaga Tanjungpura sebagai kota budaya.
Pusat Kesultanan Langkat
Dulunya, Tanjungpura juga dikenal dengan julukan Negeri Langkat. Makanya kota kecil ini sendiri pernah menjadi ibukota Kabupaten Langkat sebelum dipindahkan ke Stabat. Daerah ini merupakan salah satu dari sembilan negara (kerajaan) di Pulau Sumatera pada 1800-an.
Yakni, membentang dari utara ke selatan, Negeri Langkat dengan ibukota Tanjungpura, Negeri Deli di Medan, Negeri Serdang di Perbaungan, Negeri Asahan di Tanjung Balai, Negeri Tambang Batubara, Negeri Labuhan Batu yang terdiri dari Ledong, Kualuh, Panai dan Bilah, serta Negeri Siak Sri Inderapura di Riau.
Dalam sejarah kerajaan di Sumatera tersebut, Tanjungpura menjadi pusat salah satu kerajaan terbesar data itu, yakni Kesultanan Langkat. Daerah ini merupakan salah satu yang tertua di daerah pesisir utara-timur Sumatera. Sejarah munculnya Kesultanan Langkat sangat panjang. Menurut Drs Zainal, kesultanan ini mempunyai hubungan dengan Kerajaan Aru yang sempat hancur setelah ditaklukkan Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini kemudian pecah menjadi Kerajaan Aru Dua dibawah Putri Hijau dan Kesultanan Deli oleh Gocah Pahlawan.
Dulunya, terdapat lima kota dalam Kerajaan Melayu di Sumatera Utara, Yakni, Kota Sipinang di hulu Sungai Besitang, Kota Datar, Kota Dalam di Sicanggang, Kota Rantang di Hamparan Perak, dan Kota Pati di Tanjungpura. Pusat kerajaan cikal bakal Kesultanan Langkat sendiri sempat dpindahkan berkali-kali di beberapa kota tersebut.
“Setelah dihancurkan oleh Gocah Pahlawan yang kemudian mendirikan Kesultanan Deli, para keturunan Kerajaan Aru melarikan diri ke wilayah Langkat saat ini. Mereka kemudian membangun sebuah kerajaan yang kemudian akan melahirkan Kesultanan Langkat,” jelas Drs Zainal saat dijumpai di Museum Daerah Kabupaten Langkat, tempatnya bekerja.
Keturunan dari Kerajaan Aru tersebut, Sultan Abdullah juga sempat memerintah di Kota Dalam, Sicanggang. Kemudian, anaknya yang bernama Raja Kahar memindahkan pusat pemerintahan ke Jenderamalai. Selanjutnya, dipindahkan lagi ke Gebang, Langkat oleh Raja Ahmad. Barulah kemudian Kesultanan Langkat berdiri di Tanjungpura dengan raja pertamanya Sultan Musa al-Khalidy sekitar tahun 1887. Sebelumnya, Langkat sempat membuat kontrak terpisah dengan Belanda pada tahun 1869 untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Aceh yang saat itu banyak menaklukkan kerajaan di Sumatera.
Kesultanan Langkat terus berkembang, apalagi dengan potensi perkebunannya yang sangat besar.
Belum lagi sumber minyak bumi di Pangkalan Berandan yang saat itu memberikan pemasukan terbanyak bagi daerah tersebut. Makanya tak heran jika Tanjungpura begitu cukup terkenal saat itu hingga beberapa puluh tahun kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar